Sodikin.id – Pandangan Mufassir Terhadap Musibah. Musibah sering dirasakan seseorang atau bahkan masyarakat luas. Bencana yang dirasakan pribadi seperti kehilangan anggota keluarga yang dicintai. Sementara musibah yang dirasakan masyarakat luas seperti bencana alam banjir, tanah longsor, erupsi gunung dan yang lainnya.
Musibah, tidak ada yang tahu kapan datang dan menimpamanusia. Kehadirannya bersifat seketika dan tanpa diduga sebelumnya. Terkait dengan hal ini, manusia hanya bisa berhati-hati, waspada dan mengantisipasi. Selebihnya terserah Allah SWT yang mempunyai kekuasan dan kehendak.
Musibah menyebabkan kesedihan yang luar biasa bagi yang tertimpa. Kerugian materi juga tidak dapat dihindarkan. Kehilangan anggota keluarga dan harta benda juga kehancuran aset hingga tidak dapat dimanfaatkan lagi merupakan efek dari musibah yang dirasakan oleh manusia.
Namun satu hal yang perlu disadari adalah bahwa musibah merupakan sunnatullah. Allah berfirman:
Artinya, “Dan Kami pasti akan menguji kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan; dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS al-Baqarah: 155).
Berdasarkan ayat ini, Allah memastikan bahwa setiap manusia (terlebih orang-orang beriman) akan mendapatkan ujian dari-Nya dengan berbagai macam bentuk cobaan dan ujian hidup.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Wahbah az-Zuhaili dalam Tafsîrul Munîr mengatakan bahwa ayat diatas diturunkan setelah perang Badar. Dalam perang tersebut terdapat 8 orang sahabat dari Anshor dan 6 orang dari Muhajirin gugur sebagai syahid.
Atas gugurnya beberapa sahat tersebut, sebagian sahabat menganggap bahwa kematian mereka dalam pertempuran telah mengambil semua kenikmatan dan segala kenyamanan dunia. Atas peristiwa itu kemudian Allah menurunkan ayat 155 dari surat Al-Baqoroh sebagai jawaban bahwa siapa saja bisa tertimpa musibah dan di antara musibah atau ujian tersebut adalah mati syahid di medan perang.
Pendapat ulama tafsir terhadap musibah
Berikut ini beberapa pandangan mufassir atau pendapat ulama tafsir terhadap musibah:
Pertama Imam Ath-Thabari. Dalam kitab tafsirnya Jâmi’ul Bayân fî Ta’wîlil Qur’ân, ia menyebutkan bahwa:
Maksudnya adalah melalui ayat tersebut diatas Allah memberitahukan bahwa sungguh dunia adalah tempat cobaan dan ujian bagi orang-orang yang beriman. Allah sungguh akan menguji mereka di dunia. Kecuali itu Allah juga memerintahkan mereka untuk bersabar dalam menghadapi cobaan dan ujian tersebut.
Mendasarkan pada pandangan tersebut, maka cobaan dan ujian adalah sebuah keniscayaan dan sunnatullah yang tidak dapat dihindari. Tidak ada manusia yang terbebas dari cobaan Allah selama hidup di dunia. Dunia memang tempat terjadinya cobaan, ujian dan musibah yang tentu saja akan menimpa manusia sebagai penduduk dunia. Tidak ada yang bisa dilakukan manusia saat mendapatkan ujian dan cobaan dari Allah selain bersabar.
Kedua Sa’id Ramadhan al-Buthi. Dalam kitabnya Min Sunanillâh fî ‘Ibâdih ia berpendapat bahwa:
Maksud dari kalimat tersebut adalah bahwa setiap musibah yang menimpa terdapat dua hikmah. Hikmah pertama, sungguh manusia adalah hamba yang dimiliki Allah dengan segala kenyataan-Nya yang bersifat memaksa (idhtirory). Dan adapun hikmah kedua dari ketetapan Allah ini adalah hal yang sudah seharusnya semua manusia mengetahuinya, bahwa kehidupan di dunia adalah tempat beban (taklîf), sedangkan kehidupan akhirat merupakan tempat menerima balasan.
Berpijak pada pendapat ini maka dapat dipahami bahwa manusia dan segala yang melekat padanya bukanlah milik mereka sendiri, melainkan milik Allah swt. Dan Allah mempunyai sifat memaksa jika sudah mempunyai kehendak. Kehendak Allah terhadap manusia tidak ada yang bisa menolak. Kehendak baik ataupun buruk manusia hanya bisa menerima dan pasrah atas kuasanya.
Dunia adalah tempat menjalankan kewajiban (taklif). Bersabar terhadap cobaan yang diberikan Allah merupakan salah satu kewajiban yang harus dijalankan manusia. Dan kelak di Akhirat saatnya menerima balasan dari Allah atas kewajiban yang telah dijalankannya termasuk menjaga kesabaran dalam menerima musibah.
Ketiga Al-Zamakhsari dalam kitabnya al-Kassaf. Disini ia mengatakan
Maksudnya adalah bahwa Allah pasti akan memberi cobaan kepada manusia untuk mengetahui apakah manusia sabar terhadap cobaan itu dan tetap menjalankan perintah Allah dengan penuh ketaatan ataukah tidak?
Selanjutnya, Al-Zamakhsari mengutip sebuah hadits riwayat At-Thabrani dan Al-Baihaqi berdasar riwayat Ibnu Abbas:
Artinya: Barang siapa yang ber-istirja’ saat tertimpa musibah, Allah akan memperbaiki musibahnya, menyempurnakan akibatnya, dan mengangkat baginya pengganti yang saleh yang akan memuaskannya.
Istirja’ adalah pengakuan bahwa dirinya adalah milik Allah dan pasti akan kembali kepada-nya. Dan istirja’ ini dilafalkan dengan ucapan Inna lil-Lahi wa inna ilaihi raji’un.
Keempat Al-Qusayri dalam kitabnya Lathaiful Isyarat. Ia menyebutkan pendapat bahwa manusia yang tertimpa musibah akan tahu bahwa diri dan segala yang melekat padanya adalah milik Allah dan akan kembali kepada-Nya.
Kelima Al-Baghawi dalam kitabnya Ma’alimut Tanzil. Ia mengutip sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari Abu Musa Al-Asy’ari:
Atinya: Rasulullah bersabda: Ketika anak seorang hamba meninggal, Allah bertanya kepada Malaikat, “apakah engkau telah mencabut nyawa anak hambaku?”. Malaikat menjawab, “Ya”. Allah bertanya lagi, “apakah engkau telah mencabur nyawa buah hati hambaku?”. Malaikat menjawab, “Ya”. Allah bertanya, “Apa yang diucapkan hambaku?”. Malaikat menjawab, “hamba-Mu mengucapkan istirja’ dan memujimu”. Allah berfirman kepada Malaikat, “bangunkan untuknya sebuah rumah di surga!” yang Allah menyebutnya dengan baitul hamdi (rumah pujian).
Berdasarkan Hadits yang dikutip Al-Baghowi tersebut dapat dipahami bahwa jika tertimpa musibah manusia tidak boleh lupa untuk ber-istirja’ dan masih tetap memuji Allah. Dengan begitu, atas perintah Allah, Malaikat akan membangunkan sebuah rumah di surga.
Demikian pandangan mufassir atau pendapat ulama tafsir terhadap musibah yang menimpa manusia. Semoga bermanfaat.