Bahagia dengan Sikap Tawadhu

bahagia-dengan-sikap-tawadhu-artikel-pendidikan-keislaman-kang-sodikin

Bahagia dengan sikap tawadhu’ oleh Artikel Pendidikan dan Keislaman. Kali ini kami akan berbagi tulisan seputar tawadhu’ atau rendah hati. Tentu saja dengan harapan artikel ini memberikan manfaat kepada pembaca setia.

Tawadhu’ merupakan salah satu sifat terpuji yang harus dimiliki oleh setiap manusia. Siapapun dan dengan kedudukan apapun, yang tidak mempunyai sikap rendah hati pasti akan mempunyai kesombongan dan sifat takabur. Takabur yang merupakan prilaku buruk yang memberikan dampak pada suka merendahkan, menyepelekan dan menghina orang lain. Orang dengan sifat ini akan cenderung merasa paling hebat dan mulia dibandingkan yang lain.

Berikut beberapa hal terkait dengan artikel Bahagia dengan Sikap Tawadhu.

Pengertian Tawadhu

Pengertian tawadhu dapat dilihat dalam kitab Al-Zawajiru ‘An Iqtiraf Al-Kabair disebutkan:

التَّوَاضُعُ أَنْ تَخْرُجَ مِنْ مَنْزِلِك فَلَا تَلْقَى مُسْلِمًا إلَّا رَأَيْتَ لَهُ عَلَيْك فَضْلًا- الكتاب : الزواجر عن اقتراف الكبائر

“Engkau keluar dari kediamanmu lantas engkau bertemu seorang muslim. Kemudian engkau merasa bahwa ia lebih mulia darimu”

Sementara dalam kitab Adab An-Nufus dijelaskan bahwa tawadhu adalah:

التواضع هو اَنْ تَكُوْنَ اِذَا خَرَجْتَ مِنْ بَيْتِكَ فَكُلُّ مَنِ اسْتَقْبَلَكَ رَأَيْتَ اَنَّ لَهُ عَلَيْكَ الْفَضْلَ – الكتاب : آداب النفوس

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

“Jika engkau keluar dari rumahmu engkau menganggap setiap orang yang berjumpa denganmu adalah memiliki keutamaan lebih dibanding dirimu”

Mendasarkan pada kedua pengertian tawadhu diatas maka dapat disimpulkan jika tawadhu itu memandang orang lain mempunyai kemuliaan yang bahkan lebih tinggi dari dirinya. Jika dalam hati masih terdapat penilaian bahwa orang lai mempunyai derajat yang lebih rendah maka berarti mempunyai sifat sombong, takabur, atau besar kepala.

Tentu pengertian tawadhu berbeda dengan pengertian takabur. Takabur sebagaimana dijelaskan dalam kitab Afatu ala at-Thariq sebagaimana berikut ini:

التكبر هو إظهار العامل إعجابه بنفسه بصورة تجعله يحتقر الآخرين – الكتاب : آفات على الطريق

“Kesombongan atau arogansi adalah seseorang yang menampakan kekaguman pada diri sendiri dengan cara menghina dan merendahkan orang lain”

Dan juga dalam Al-Zawajiru ‘An Iqtiraf Al-Kabair seperti di bawah ini:

التَّكَبُّرِ هُوَ اعْتِقَادُ كَمَالِ تَمَيُّزِهِ عَلَى الْغَيْرِ بِعِلْمٍ أَوْ عَمَلٍ أَوْ نَسَبٍ أَوْ مَالٍ أَوْ جَمَالٍ أَوْ جَاهٍ أَوْ قُوَّةٍ أَوْ كَثْرَةِ أَتْبَاعٍ – الكتاب : الزواجر عن اقتراف الكبائر

“Kesombongan atau arogansi adalah percaya pada kesempurnaan diri atas orang lain, yang dikarenakan melalui pengetahuan, pekerjaan, kekerabatan, uang, kecantikan, gengsi, ataupun harga diri.”

Baca Juga:  Pandangan Mufassir Terhadap Musibah

Bahagia dengan Sikap Tawadhu atau Rendah Hati

Seseorang dapat bahagia dengan sikap tawadhu atau rendah hati-nya. Hal ini disebabkan balasan yang diberikan Allah kepadanya. Orang yang mempunyai sifat rendah hati yang dilakukannya semata-mata karena Allah maka tidak ada balasan lain selain derajatnya ditinggikan oleh-Nya.

Tentang balasan dari Allah kepada orang yang rendah hati seperti yang disebutkan dalam Hadits dari Abu Hurairah berikut ini:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ – الكتاب : الجامع الصحيح المسمى صحيح مسلم

“Tidaklah shodaqoh akan mengurangi harta. Tidaklah Allah menambah orang yang memberi maaf kecuali kemuliaan dan tidaklah seseorang memiliki sifat tawadhu’ (rendah hati) karena Allah melainkan Allah akan meninggikan (derajat)nya.” [HR Muslim]

Imam Qatadah sebagaimana dikutip dalam Ihya’ Ulumuddin menyebutkan bahwa seseorang yang memiliki harta, ketampanan, pakaian dan ilmu akan menjadi sumber mala petaka dan kerusakan di Hari Kiamat jika tidak dibarengi dengan sifat tawadlu’ atau rendah hati.

مَنْ أُعْطِيَ مَالًا أَوْ جَمَالًا أَوْ ثِيَابًا أَوْ عِلْمًا ثُمَّ لَمْ يَتَوَاضَعْ فِيْهِ كَانَ عَلَيْهِ وَبَالًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ – الكتاب : إحياء علوم الدين: الغزالي

“Barang siapa yang dianugerahi harta, ketampanan, pakaian atau ilmu namun ia tidak tawadlu’ maka semua itu akan menjadi kerusakan (siksa) di hari kiamat.”

Sementara itu, Imam Syafi’i menyampaikan pesannya terkait Bahagia dengan Sikap Tawadhu. Pendapat beliau sebagaimana tertera dalam Al-Majmu’ Syarah Al-Mahdzab:

أَرْفَعُ النَّاسِ قَدْرًا مَنْ لاَ يَرَى قَدْرَهُ، وَأَكْبَرُ النَّاسِ فَضْلاً مَنْ لَا يَرَى فَضْلَهُ – الكتاب شعبان الايمان – الكتاب : المجموع شرح المهذب

“Orang yang paling tinggi kedudukannya adalah orang yang tidak pernah melihat kedudukannya. Dan orang yang paling mulia adalah orang yang tidak pernah melihat kemuliannya (merasa mulia).”

Baca juga: Pengertian dan dalil sabar.

Baca Juga:  10 topik pengembangan personel yang harus Anda kuasai

Tawadlu memberikan efek yang baik untuk semua kalangan manusia. Meski begitu, orang kaya yang rendah hati akan jauh lebih baik. Arogansi atau takabbur pastilah buruk yang dampaknya bisa dirasakan seluruh manusia. Dan orang miskin yang memelihara kesombongan akan jauh lebih buruk lagi.

Dalam Ihya’ Ulumuddin, Imam Al-Ghazali memberikan nasehat:

وقال يحيى بن معاذ التكبر على ذي التكبر عليك بماله تواضع ويقال التواضع في الخلق كلهم حسن وفي الأغنياء أحسن والتكبر في الخلق كلهم قبيح وفي الفقراء أقبح الْقِيَامَةِ – الكتاب : إحياء علوم الدين: الغزالي

“Tawadlu itu baik untuk semua kalangan manusia. Namun orang kaya yang Tawadlu akan lebih baik. Takabbur itu jelek untuk semua kalangan manusia namun orang miskin yang takabbur akan lebih buruk.”

Mengingat akan bahagia dengan sikap tawadhu’, maka Rasulullah memerintahkan umatnya untuk bersikap tawadlu, sebagaimana yang tertera dalam Hadits:

عَنْ عِيَاضِ بْنِ حِمَارٍ أَنَّهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنَّ اللّهَ أَوْحَىٰ إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّىٰ لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ علىٰ أَحَدٍ، وَلاَ يَبْغِيَ أَحَدٌ عَلَىٰ أَحَدٍ – الكتاب : فتح الباري شرح صحيح البخاري

“Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku untuk menyuruh kalian bersikap rendah hati, sehingga tidak ada seorang pun yang membanggakan dirinya di hadapan orang lain, dan tidak seorang pun yang berbuat aniaya terhadap orang lain.” [HR Bukhari]

Hadits tersebut memberitahukan kepada kita bahwa rendah hati adalah wahyu Allah kepada Nabi Muhammad SAW. Dimaksudkan agar orang-orang yang beriman tidak membanggakan diri sendiri (ujub) dan berbuat aniaya kepada orang lain.

Baca Juga:  Manajemen waktu: Dari prinsip Eisenhower hingga analisis ABC

Pelajaran berharga mengenai dampak arogansi atau kesombongan dan tiadanya sifat rendah hati dapat dibaca pada kisah berikut ini yang diceritakan dalam Ihya’ Ulumuddin:

وعن عمرو بن شيبة قال كنت بمكة بين الصفا والمروة فرأيت رجلا راكبا بغلة وبين يديه غلمان وإذا هم يعنفون الناس قال ثم عدت بعد حين فدخلت بغداد فكنت على الجسر فإذا أنا برجل حاف حاسر طويل الشعر قال فجعلت أنظر إليه وأتأمله فقال لي مَالَكَ تنظر إلي فقلت له شبهتك برجل رأيته بمكة ووصفت له الصفة فقال له أنا ذلك الرجل فقلت ما فعل الله بك فقال إني ترفعت في موضع يتواضع فيه الناس فوضعني الله حيث يترفع الناس – الكتاب : إحياء علوم الدين: الغزالي

Amr bin syaibah berkisah,ketika aku berada di makkah antara bukit shafa dan marwa aku melihat seorang lelaki mengendarai baghlah dan di depannya para pemuda (pengawalnya). Mereka berbuat kasar kepada orang lain (menyuruh untuk minggir). Setelah sekian lama, aku masuk kota baghdad dan saat itu aku berada di atas sebuah jembatan, aku berpapasan dengan seorang laki-laki tanpa penutup kepala, tanpa alas kaki dan berambut panjang yang sepertinya aku pernah melihatnya. Aku mengamati dengan pandangan yang mendalam. Lelaki itu bertanya : Mengapa engkau melihatku demikian? Amr menjawab: Dulu Aku pernah melihat orang yang mirip denganmu diantara shafa dan marwa. Lalu Akupun menceritakan kejadian di atas. Lalu Ia menjawab : Iya, Itu adalah aku. Amr bertanya: Apa yang terjadi? Lelaki menjawab: Aku merasa mulia (sombong) di tempat di mana manusia sama-sama merendahkan dirinya maka Allah menghinakan diriku ditempat dimana orang-orang menjadi mulia.[Ihya Ulumuddin]

Demikian artikel seputar Bahagia dengan Sikap Tawadhu atau Rendah Hati dari Artikel Pendidikan dan Keislaman – Kang Sodikin. Semoga bermanfaat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *