Efisiensi dan Resuffle Basa-Basi: Antara Janji Reformasi dan Praktik Patronase

Resuffle Basa-Basi: Antara Janji Reformasi dan Praktik Patronase

Sodikin.ID – Resuffle Basa-Basi: Antara Janji Reformasi dan Praktik Patronase dibahas dalam artikel Kang Sodikin ini.

Pada 15 Agustus 2025, jutaan pasang mata menyaksikan Presiden Prabowo menyampaikan pidato RAPBN 2026 di DPR. Dengan lantang ia berjanji memangkas jumlah komisaris BUMN hanya maksimal 4–6 orang, sekaligus menghapus tantiem yang dianggapnya sebagai “akal-akalan.” Ucapannya disambut tepuk tangan meriah, bahkan standing ovation dari para anggota parlemen. Janji itu seakan menjadi simbol reformasi awal kepemimpinan: efisiensi, penghapusan privilese, dan perbaikan tata kelola BUMN.

Namun, kurang dari sebulan kemudian, publik dikejutkan oleh keputusan pengangkatan Hasan Nasbi — mantan Kepala Kantor Komunikasi Presiden — sebagai komisaris Pertamina. Padahal dengan penunjukan itu, jumlah komisaris Pertamina membengkak menjadi delapan orang. Inkonsistensi inilah yang kemudian memicu kritik tajam, termasuk dalam video yang dibawakan Arif, dengan label yang pas: “Resuffle Basa-Basi.”

Janji vs. Realitas

Prabowo pernah berkata:

“Saya potong setengah komisaris, paling banyak enam orang. Kalau bisa cukup empat atau lima. Dan saya hilangkan tantiem.”

Kata-kata itu bukan sekadar retorika politik. Ucapan presiden di forum resmi DPR memiliki bobot moral sekaligus politik. Ia menjadi dasar ekspektasi publik akan arah kebijakan negara. Namun, realitas yang muncul justru sebaliknya. Dengan masuknya Hasan Nasbi, Pertamina kini memiliki delapan komisaris, dua lebih banyak dari batas maksimal yang ia janjikan sendiri.

Bukan hanya soal angka. Kasus ini mengirim sinyal kuat bahwa janji presiden bisa dipatahkan oleh manuver politik praktis, bahkan dalam hitungan minggu.

Baca Juga:  Bahagia dengan Sikap Tawadhu

Siapa Hasan Nasbi?

Hasan Nasbi bukan figur asing. Lulusan Ilmu Sosial dan Politik UI ini pernah memimpin lembaga survei, kemudian dipercaya Presiden Jokowi sebagai Kepala Kantor Komunikasi Presiden (PCO), sebuah nomenklatur baru yang dibentuk menjelang akhir masa jabatan Jokowi. Ketika Prabowo dilantik, posisi itu dipertahankan, menandakan adanya “titipan” politik dari rezim sebelumnya.

Namun, pada 17 September 2025, Hasan dicopot dari jabatan PCO. Anehnya, enam hari sebelumnya (11 September), ia sudah ditetapkan sebagai komisaris Pertamina. Fakta ini menimbulkan kesan bahwa pencopotannya hanya formalitas, karena kompensasi lebih besar sudah menanti.

Pertanyaan pun muncul: apakah pengangkatan ini sekadar “pesangon politik” untuk Hasan Nasbi? Ataukah kompensasi dari Prabowo kepada Jokowi atas orang dekatnya yang tersingkir dari lingkar kekuasaan?

Patronase dalam Balutan Efisiensi

Penempatan figur non-teknokrat di kursi komisaris BUMN bukan fenomena baru. Pemerintahan sebelumnya, baik era SBY maupun Jokowi, kerap menggunakan kursi komisaris sebagai instrumen patronase politik — cara halus membagi-bagi kekuasaan sekaligus memberi balas jasa.

Bedanya, Prabowo datang dengan narasi efisiensi dan pemangkasan privilese. Justru karena itu, inkonsistensi makin terasa menyakitkan. Apa yang tadinya menjadi simbol perubahan, berubah menjadi pengulangan praktik lama.

Di sinilah letak “basa-basi.” Janji penghapusan tantiem, pemangkasan komisaris, dan jargon efisiensi ternyata hanya berfungsi sebagai retorika panggung. Saat diterjemahkan ke kebijakan nyata, yang terjadi adalah kompromi politik dan akomodasi terhadap kepentingan elite.

Baca Juga:  Pandangan Mufassir Terhadap Musibah

Hitung-hitungan Uang dan Jabatan

Video Arif menyajikan data konkret: seorang komisaris Pertamina rata-rata menerima kompensasi sekitar Rp9,5 miliar per bulan, lengkap dengan fasilitas mewah mulai dari asuransi, kendaraan, hingga bantuan hukum. Jika janji pemangkasan tantiem benar-benar dilaksanakan, pemerintah bisa menghemat antara Rp8–17 triliun per tahun, menurut pernyataan resmi Rosan Roslani (Kepala Badan Pelaksana Investasi) dan Sufmi Dasco Ahmad (Wakil Ketua DPR).

Tetapi, alih-alih memangkas, jumlah komisaris justru bertambah. Efisiensi berubah jadi pemborosan. Janji penghematan berubah jadi ironi. Dan publik berhak bertanya: apakah benar tantiem dihapus, atau sekadar ditunda pelaksanaannya?

Kredibilitas yang Dipertaruhkan

Lebih dari sekadar uang, yang dipertaruhkan adalah kredibilitas presiden. Dalam politik, ucapan presiden adalah kontrak moral. Jika kontradiksi seperti ini terus berulang, risiko terbesar adalah hilangnya kepercayaan publik terhadap semua pernyataan resmi negara.

Prabowo masih berada di awal masa pemerintahannya. Kredibilitas yang goyah di tahap awal bisa berimbas pada seluruh agenda reformasi, dari efisiensi birokrasi hingga transformasi ekonomi. Rakyat akan bertanya-tanya: apakah setiap janji adalah komitmen, atau sekadar basa-basi untuk memancing tepuk tangan?

Reshuffle sebagai Simbol

Reshuffle kabinet atau pergantian pejabat seharusnya dimaknai sebagai instrumen perbaikan kinerja. Namun dalam kasus ini, reshuffle justru menimbulkan tanda tanya besar. Bukan perbaikan, melainkan sekadar rotasi. Bukan efisiensi, melainkan konsolidasi. Hasil akhirnya adalah munculnya persepsi bahwa reshuffle hanyalah panggung kosmetik — sebuah “basa-basi” untuk menutupi praktik lama yang tetap berjalan.

Baca Juga:  WAMENAKER DITANGKAP KPK: PUKULAN TELAK DI AWAL PEMERINTAHAN?

Refleksi Historis

Jika ditarik ke belakang, hampir semua presiden pasca-Reformasi terjebak dalam pola yang sama. SBY sering dikritik karena menggunakan kursi BUMN untuk akomodasi politik. Jokowi pun melakukan hal serupa, dengan banyak “orang partai” ditempatkan di BUMN strategis. Prabowo, meski datang dengan janji berbeda, ternyata mengulangi pola yang sama bahkan lebih cepat dari pendahulunya.

Perbedaannya terletak pada retorika. Jokowi jarang menjanjikan pemangkasan komisaris secara eksplisit. Sementara Prabowo berani menjanjikan di forum resmi, hanya untuk mengingkarinya dalam hitungan minggu. Kontradiksi inilah yang membuat publik lebih kecewa.

Kesimpulan: Dari Efisiensi ke Basa-Basi

Kasus Hasan Nasbi di Pertamina menyingkap jurang lebar antara janji dan realitas. Prabowo menegaskan akan memangkas, tapi justru menambah. Ia berjanji efisiensi, tapi justru memberi kompensasi jumbo pada figur politis.

Inilah mengapa kritik “Resuffle Basa-Basi” terasa tepat. Bukan hanya soal uang negara yang terbuang, melainkan soal kredibilitas seorang presiden yang ucapannya dipertanyakan. Publik bisa memaafkan keterlambatan implementasi, tapi tidak mudah menerima kontradiksi terang-benderang.

Jika pola ini berlanjut, reshuffle demi reshuffle hanya akan dianggap sebagai ritus basa-basi: sekadar ritual politik, tanpa makna substantif. Dan pada akhirnya, yang terkikis bukan hanya anggaran negara, tetapi juga kepercayaan rakyat.

Sodikin Masrukin

Pelaku pendidikan, Pengawas Madrasah, pemerhati sosial-budaya dan kajian Islam yang tinggal di Kab. Purbalingga. Alumnus Pondok Pesantren Ma'ahidudiniyyah Al-Islamiyah Kudus, UIN Walisongo Semarang (S1) dan UIN Saifudin Zuhri Purwokerto (S2).