Menelusuri Jejak Isra’ Mi’raj: Antara Keimanan, Dalil Wahyu, dan Cakrawala Sains Modern

Menelusuri Jejak Isra’ Mi’raj: Antara Keimanan, Dalil Wahyu, dan Cakrawala Sains Modern

Peristiwa Isra’ Mi’raj bukan sekadar dongeng pengantar tidur atau ritual tahunan yang diperingati setiap 27 Rajab. Bagi umat Islam, ini adalah mukjizat agung yang mendobrak batas logika manusia dan hukum fisika klasik. Perjalanan vertikal dan horizontal Nabi Muhammad SAW dalam satu malam ini merupakan “proyeksi” kekuasaan Allah SWT yang mempertemukan dimensi bumi dengan dimensi malakut.

Dalam artikel ini, kita akan membedah peristiwa Isra’ Mi’raj dari tiga sudut pandang utama: Al-Qur’an sebagai sumber hukum tertinggi, Hadis sebagai penjelas detail, serta bagaimana sains modern memandang fenomena transportasi lintas dimensi ini.

1. Perspektif Al-Qur’an: Fondasi Tauhid dan Kebenaran Mutlak

Al-Qur’an mengabadikan dua fase perjalanan ini dalam dua surat yang berbeda. Hal ini menunjukkan betapa krusialnya peristiwa ini dalam sejarah kenabian.

Fase Isra’ (Perjalanan Horizontal)

Perjalanan dari Masjidil Haram (Makkah) ke Masjidil Aqsa (Palestina) disebutkan secara eksplisit dalam pembukaan Surah Al-Isra: 1

سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami…” (QS. Al-Isra: 1).

Kata “Subhanalladzi” (Maha Suci) di awal ayat berfungsi sebagai pengingat bahwa peristiwa ini berada di luar jangkauan kemampuan makhluk dan hanya bisa terjadi atas kehendak Sang Pencipta. Penggunaan kata “Bi ‘Abdihi” (hamba-Nya) menegaskan bahwa Rasulullah menjalani perjalanan ini dengan roh dan jasad secara bersamaan.

Fase Mi’raj (Perjalanan Vertikal)

Sedangkan fase kenaikan Rasulullah ke langit ketujuh hingga Sidratul Muntaha digambarkan dalam Surah An-Najm:

وَلَقَدْ رَاٰهُ نَزْلَةً اُخْرٰىۙ عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهٰى عِنْدَهَا جَنَّةُ الْمَأْوٰىۗ اِذْ يَغْشَى السِّدْرَةَ مَا يَغْشٰىۙ مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغٰى

“Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal… Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya.” (QS. An-Najm: 13-17).

Al-Qur’an menekankan bahwa dalam Mi’raj, Rasulullah melihat “tanda-tanda kebesaran Tuhan yang paling besar” (Ayati Rabbihil Kubra). Ini adalah pengalaman empiris spiritual yang tak tertandingi oleh manusia manapun.

2. Perspektif Hadis: Detail Perjalanan dan Diplomasi Samawi

Jika Al-Qur’an memberikan kerangka besarnya, maka Hadis Nabi memberikan rincian kronologis yang sangat kaya. Berdasarkan riwayat Bukhari dan Muslim, ada beberapa poin kunci yang menjadi sorotan:

Buraq: Simbol Kecepatan Cahaya?

Rasulullah menggambarkan kendaraan yang beliau gunakan bernama Buraq. Kata ini berakar dari kata Barq yang berarti cahaya/kilat. Buraq digambarkan sebagai hewan putih, panjang, lebih besar dari keledai namun lebih kecil dari bighal, yang langkah kakinya sejauh mata memandang. Secara simbolis, ini menunjukkan efisiensi waktu yang luar biasa.

Pertemuan Lintas Generasi di Langit

Di setiap tingkatan langit, Rasulullah bertemu dengan para Nabi terdahulu (Adam, Isa, Yahya, Yusuf, Idris, Harun, Musa, dan Ibrahim). Ini bukan sekadar pertemuan formalitas, melainkan simbol estafet kepemimpinan risalah tauhid. Puncaknya adalah ketika Nabi Muhammad SAW mengimami para nabi di Masjidil Aqsa, menegaskan posisinya sebagai Imamul Anbiya (Pemimpin para Nabi).

Diplomasi Shalat 5 Waktu

Momen paling krusial dalam Mi’raj adalah penerimaan perintah shalat. Berbeda dengan zakat atau puasa yang disampaikan melalui Jibril di bumi, shalat diperintahkan langsung oleh Allah kepada Rasulullah di Sidratul Muntaha. Negosiasi antara Nabi Muhammad dan Nabi Musa tentang jumlah rakaat (dari 50 menjadi 5) menunjukkan kasih sayang Rasulullah kepada umatnya agar tidak terbebani, namun tetap mendapatkan pahala setara 50 waktu.

3. Isra’ Mi’raj dalam Perspektif Sains: Mendobrak Batas Ruang dan Waktu

Bagi kaum skeptis, perjalanan Makkah-Palestina-Langit Ke-7 yang dilakukan dalam semalam terdengar mustahil. Namun, perkembangan fisika modern justru membuka celah pemahaman yang menarik terhadap peristiwa ini.

Teori Relativitas Einstein dan Dilatasi Waktu

Albert Einstein dalam General Relativity menjelaskan bahwa waktu bersifat relatif. Jika seseorang bergerak dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya, maka waktu baginya akan berjalan lebih lambat dibandingkan mereka yang diam di bumi.

Dalam konteks Isra’ Mi’raj, jika Buraq bergerak dengan kecepatan cahaya (atau bahkan lebih), maka perjalanan jutaan tahun cahaya ke luar angkasa bisa ditempuh hanya dalam hitungan menit menurut jam bumi. Inilah mengapa dalam riwayat disebutkan bahwa tempat tidur Nabi masih hangat saat beliau kembali; sebuah fenomena Dilatasi Waktu.

Lubang Cacing (Wormhole) dan Shortcut Ruang-Waktu

Dalam fisika kuantum dan astrofisika, dikenal konsep Einstein-Rosen Bridge atau Wormhole. Ini adalah “terowongan” yang menghubungkan dua titik yang sangat jauh di alam semesta secara instan.

Mi’raj bisa dijelaskan sebagai perjalanan melintasi dimensi yang lebih tinggi. Jika manusia biasa terikat dalam dimensi 3D (panjang, lebar, tinggi) dan 1D waktu, maka atas izin Allah, Rasulullah dibawa melintasi dimensi ke-5, ke-10, atau dimensi yang tak terhingga, di mana jarak miliaran kilometer bisa diringkas menjadi satu langkah saja.

Quantum Teleportation

Sains saat ini telah berhasil melakukan “teleportasi kuantum” pada partikel subatomik. Meskipun masih jauh untuk memindahkan tubuh manusia, konsep ini membuktikan bahwa perpindahan informasi/materi secara instan dari satu titik ke titik lain adalah mungkin secara teoretis. Isra’ Mi’raj adalah bentuk sempurna dari teknologi “ilahiyah” yang melampaui teknologi manusia.

4. Hikmah di Balik Peristiwa: Mengapa Terjadi di “Tahun Kesedihan”?

Secara historis, Isra’ Mi’raj terjadi di tahun yang dikenal sebagai Amul Huzni (Tahun Kesedihan). Saat itu, Rasulullah baru saja kehilangan dua pelindung utamanya: Siti Khadijah (istri tercinta) dan Abu Thalib (paman sekaligus pelindung politik). Beliau juga mengalami penolakan pahit di Tha’if.

Apa pelajaran bagi kita?

  1. Hiburan Ilahiyah: Allah ingin menunjukkan bahwa meski bumi terasa sempit karena penolakan, pintu langit selalu terbuka luas.

  2. Ujian Keimanan: Pasca peristiwa ini, banyak orang murtad karena tidak masuk akal. Namun, Abu Bakar muncul dengan gelar As-Siddiq (Yang Membenarkan), menegaskan bahwa iman dimulai di mana logika berhenti.

  3. Pentingnya Al-Aqsa: Perjalanan ke Baitul Maqdis menegaskan bahwa Palestina adalah tanah suci umat Islam yang harus dijaga dan dimuliakan.

5. Relevansi Isra’ Mi’raj bagi Generasi Z dan Milenial

Di era digital yang serba cepat, Isra’ Mi’raj mengajarkan kita tentang:

  • Kecepatan dan Ketepatan: Seperti Buraq, kita dituntut untuk bergerak cepat namun tetap dalam kendali iman.

  • Work-Life Balance melalui Shalat: Shalat adalah “Mi’raj”-nya orang mukmin. Di tengah hiruk-pikuk pekerjaan, shalat adalah momen kita “naik” menemui Sang Pencipta untuk melepas stres duniawi.

  • Open-Mindedness: Peristiwa ini mengajak kita untuk tidak sombong dengan ilmu pengetahuan. Apa yang hari ini dianggap mustahil oleh sains, bisa jadi adalah fakta di masa depan.

Kesimpulan: Harmoni Antara Wahyu dan Akal

Isra’ Mi’raj bukan sekadar perjalanan transportasi, melainkan transformasi spiritual. Al-Qur’an memberikan legitimasi hukum, Hadis memberikan detail historis, dan sains memberikan alat bantu untuk memahami keagungan desain Allah.

Sebagai umat Muslim modern, kita tidak perlu membenturkan antara agama dan sains. Sebaliknya, mari kita jadikan Isra’ Mi’raj sebagai pemacu semangat untuk terus belajar dan meneliti alam semesta, sembari tetap sujud dengan penuh ketundukan dalam shalat lima waktu—oleh-oleh terindah dari perjalanan agung tersebut.

Baca Juga:  Pengertian Fasiq dan Tanda-Tandanya
Sodikin Masrukin

Pelaku pendidikan, Pengawas Madrasah, pemerhati sosial-budaya dan kajian Islam yang tinggal di Kab. Purbalingga. Alumnus Pondok Pesantren Ma'ahidudiniyyah Al-Islamiyah Kudus, UIN Walisongo Semarang (S1) dan UIN Saifudin Zuhri Purwokerto (S2).